G A N J I L (bag.4)

 


“Tama… kuatkan dirimu nak, ayo lakukan sesuatu, setidaknya masih ada satu nyawa lagi yang harus segera kita selamatkan” pinta tok chaidir, ayah mertuanya.

Tama tersadar dengan perkataan ayah mertuanya, ia segera merapikan letak tubuh istrinya, Dayang. Ditatapnya sebentar wajah istrinya dengan air mata yang kembali mengembang, ia siap menutupi wajah dayang dengan kain batik panjang yang disiapkannya untuk persalinan dayang sebelum ini.

“Ayah bagaimana dengan anakku ayah? Apa dia masih bernafas?” Tanya nya pada Tok Chaidir.

“dia lemah Tama. Cepat kau panggil orang untuk membantuku membersihkan bayi ini, tali pusatnya bahkan masih meliliti lehernya, cucuku yang malang” air mata tok Chairil mengembang menatap bayi yang masih bersimbah darah itu.

“iya ayah, titip bayiku ayah” sebelum keluar dari kamar, ekor mata tama menangkap jejak darah yang berakhir dijendela, dilihatnya lagi tubuh mak canggai yang masih tergeletak dilantai rumah panggungnya. Ia memutuskan untuk segera memanggil tetangga terdekatnya, rumah tempat ia menitipkan kedua anaknya yang terletak kurang lebih lima ratus meter dari rumahnya.

Tama keluar dari rumah itu, dengan segera ia mengambil sepeda ontel nya, hujan menyisakan gerimis. Tama mengayuh sepedanya dengan segera. Rasanya ia ingin terbang untuk bisa segera sampai ditempat tujuan. Sampai dirumah mak Lang Timah adik dari ayah mertuanya Tok Chaidir, Tama segera memberitahuakan apa yang terjadi. Kontan saja berita itu membuat seisi rumah mak Lang Timah gaduh, riuh dengan suara jerit dan tangis, setelah menyampaikan maksudnya, Tama segera melaju kembali mengayuh sepedanya. Tujuannya kali ini adalah rumah bidan Ranimah, ia berharap masih bisa menyelamatkan bayi nya yang saat ia tinggalkan kondisinya tak lagi menangis seperti bayi pada umumnya.

Tak ia hiraukan pakaiannya yang basah dan berlumur darah. Laju sepedanya menyebabkan dingin yang luar biasa pada kulitnya yang terbungkus kain yang basah oleh sisa hujan keringat dan darah. Ia melaju melawan amarah dan sedih juga penyesalan yang tak dapat diganti. Jika saja ia bisa bersabar menempuh jarak tiga kilometer menuju rumah bidan Ranima mungkin istrinya saat ini hanya tertidur karena lelah, bukan tidur untuk selamanya.

Didepan rumah dinas untuk tenaga medis yang bertugas di puskesmas Telok Batang, Tama meletakkan sembarang sepedanya hingga tumbang ke tanah basah di halaman rumah Bidan Ranima. Jemarinya yang mulai pucat mengetuk kencang pintu rumah serba putih itu.

Bidan Ranima mungkin sudah terbiasa dengan gedoran kencang yang sering mendarat di pintu rumah dinasnya, suara sahutan dari dalam itu terdengar tenang seolah menjawab sapaan salam gedoran kencang dipintu. Saat pintu terbuka, Tama bersimpuh dilantai. Ia lelah.

Melihat tampilan Tama yang basah, wajah yang pucat dengan mata yang merah sebab puas menangis dan baju yang dikenakan Tama penuh darah. bidan Ranima sangat terkejut dan berteriak memanggil suaminya dr Hendra.

“Bang Tama, apa yang terjadi” tanyanya, ikut berjongkok kemudian memegang kedua bahu Tama yang bergetar.

“tolong bayi saya bu, tolong dia bu” jawab Tanya dengan tangis yang tertahan.

Dokter Hendra datang dari arah belakang, ia segera membopong Tama dan mendudukkannya di kursi, sementara bidan Ranima bergerak cepat kembali masuk ke dalam rumah dan mengambil peralatan dan obat-obat yang mungkin dibutuhkan disana. Kemudian ia kembali kedepan, tempat Tama menenangkan diri.

Setelah melihat istrinya sudah siap dengan peralatan medisnya. Dokter Hendra segera menyiapkan motor nya. Tanpa banyak cerita lagi, setelah mengunci pintu rumah bidan Ranima membimbing Tama berjalan menuju motor yang telah dinyalakan oleh suaminya. Segera dokter Hendra mengenakan jaket yang diberikan istrinya. Tama naik ke motor di posisi tengah dan bidan Ranima dibelakang. Sepasang suami istri itu sudah terbiasa menaiki motor dengan tiga orang sekaligus seperti saat ini.

 

Bersambung …

Comments

Popular posts from this blog

G A N J I L

Padang dua Belas, Kota Megan yang Ghaib (bag.2)