G A N J I L (bag.3)

 



Masih terekam dengan baik dan jelas panggilan namaku pada Acara Angkat Sumpah dan Pelepasan para lulusan FKUI pada dua bulan lalu, rasanya luar biasa. Dan aku benar-benar bahagia.

“dr. Hera Dayang Tama, Sp.A” sebagai lulusan terbaik Program Spesialis.

Allah benar-benar baik padaku, karena memberikan orangtua yang sangat mendukung dan tak pernah lelah mengarahkan dan mengingatkan tujuan dan cita-citaku. Dan sekarang disinilah aku RSIA Bunda Jakarta, rumah sakit yang tergabung di dalam RS Bunda Group ini memiliki beberapa poliklinik yang focus pada kesehatan ibu dan anak.

Aku benar-benar mencintai profesiku. Jika pagi hingga sore aku disini maka malam adalah bagian ku untuk bergabung bersama dua super hero ku di klinik. Bunda kadang bertanya kenapa aku tidak menerima tawaran di rumah sakit yang sama dengan Radith dan Ayah. Hadeh… bukan aku tak mau, jujur sudah nyaman sebenarnya dengan lingkungan rumah sakit itu. Tapi aku ini wanita biasa, sepandai-pandainya aku menjaga hati, tapi jika jarak dengan dr. Radith begitu dekat dan intensitas pertemuan yang sangat tinggi karena berada di rumah sakit yang sama. Aku takut dinding pertahanan ku roboh. Hati ini harus netral hingga waktunya ia halal untuk mencintai.

Dan setelah lamaran resmi yang disampaikan oleh dr. Radith dan kedua orangtuanya bulan lalu, kedua orangtua kami mulai mencari waktu yang tepat untuk pelaksanaan akad. Jangan tanyakan perasaan ku saat itu, gado-gado pastinya. Ku lihat ayah dan bunda juga sangat bahagia. Tapi hal yang sama kembali kurasa setelah malam itu, ayah kembali murung.

Malam ini di klinik, pasien anak tidak terlalu banyak. Aku bisa beristirahat sekarang, setelah pamit dengan mba Mira aku keluar dari klinik dan menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda berkeranjang rotan kesayanganku. Dari klinik menuju rumah tidak begitu jauh, hanya 3 blok untuk bisa sampai ke rumah.

Di rumah suasana nya sepi, tak kutemukan ayah atau bunda di kamar dan ruang tengah, aku kedapur untuk mencuci muka dan tangan. Terdengar seperti orang yang berbincang-bincang via telpon. Aku mencoba membuka pintu halaman belakang dengan pelan. Ternyata itu ayah. Segera kusapa ayah.

“Assalamualaikum dr Hendra Pratama…bicara dengan siapa tuh?” Tanya ku. Diluar dugaanku ternyata salamku membuat ayah kaget luar biasa sampai jatuh ponselnya.

“Astagfirullah…astagfirullah…astagfirullah…Her kamu ngagetkan ayah, sampai sakit dada ayah nak” keluh ayah yang kusambut dengan permohonan maaf.

“maafkan Her ayah, maafkan Her. Tapi tadi Her sudah mengucapkan salam duluan kan. Ayah terlalu focus nih nelponnya” kata ku sambil mengurut dadanya.

“tolong ambilkan minum ayah di meja” pinta ayah padaku. Segera kuambil cangkir berisi teh itu dan menyerahkan pada ayah, ayah langsung meminumnya hingga habis.

“Haus banget yah. Mau Her ambilkan lagi?” tanyaku saat melihat cangkir ayah kosong dalam hitungan detik.

“nggak usah, ini efek kaget tau. Dasar anak bandel”. Jawabnya sambil menarik hidungku. Aku hanya bisa ber-Aww saja dibuatnya

“Aww…aww..aww..sakit ini yah” keluh ku.

“ayah nelpon siapa serius sekali” tanyaku

“oh teman, itu…teman, iya itu teman” jawabnya sambil memandang ponsel yang sudah ku pungut tadi.

Dilihat dari gaya bicara ayah, aku tau ayah sedang berbohong. Ok…

“teman tapi mesra bukan yah?” godaku

“eh kamu bandel, mau ayah buat hidungmu panjang biar saingan sama pinokio huh?” kesalnya. Memang kamu dengar ayah ngomong apa? Kamu baru datang juga kan, sembarangan aja”.

“eh siapa bilang Her baru datang, orang Her dari tadi kok di situ dengarin ayah ngomong” Bohong ku. Tapi tiba-tiba wajah ayah pucat. Lalu ayah memalingkan wajahnya ke lain. Kurasa ini kesempatan ku untuk menanyakan wajah murung dan kegelisahannya.

“ayah… untuk kesekian kalinya Her bertanya, ayah kenapa sedih? Jika ada tindakan atau perkataan Her yang salah tolong sampaikan. Pintaku pada ayah.

“Ayah sebenarnya tidak siap Hera. Tapi ayah egois jika terlambat mengatakannya. Ayah takut ini akan melukai hati mu nak,” ayah tertunduk sedih.

“Ayah.. Hera Dayang Tama mu ini sudah besar, lihat aku bukan gadis kecil berumur 7 tahun lagi” aku mencoba meyakinkan ayah.

“dr. Hera Dayang Tama, Sp.A. taukah kau nak kandungan makna dari namamu itu? Tatapan wajah sedih ayah pada ku. Jari jempol ayah membelai pipiku lembut. Lalu aku mengangguk tahu.

He itu dari nama dr Hendra Pratama, Ra itu Ranima Pertiwi, Dayang itu bahasa melayu artinya anak perempuan dan Tama itu…mungkin penggalan dari kata per-Tama. Aku betulkan ayah” jawabku dengan senyum penuh bangga.

Ayah tersenyum kemudian memeluk ku sebetar, sambil berkata “Ayah sayang padamu nak, kau selalu jadi gadis kecil yang ayah sayangi” bisiknya lirih. Ayah kemudian menyeka air matanya. Ayah tak pernah menangis, tak pernah sekalipun kulihat ayah menangis. Kemudian ayah melanjutkan perkataannya.

“Kepanjangan dari Hera itu benar, itu singkatan dari nama ayah dan bunda mu, Dayang itu juga benar artinya bisa seperti itu, tapi Tama itu adalah nama seseorang. begitu juga dengan Dayang nak”. Penjelasan ayah terhenti. Ayah mengatur intonasi suaranya, terdengar oleh ku ayah menelan saliva nya berkali-kali.

“ayah dan bunda begitu mengagumi mereka berdua sepertinya, sampai menyematkan nama mereka pada nama Hera?” aku mengisi kesunyian dari jeda pembicaraan ayah. Dan aku sangat menunggu penjelasan ayah selanjutnya. “ayah…” panggilku.

Seperti berusaha untuk tenang ayah menjawab “tidak nak, tidak hanya itu” ayah menggenggam kedua jemari tangunku dengan erat. Seperti ingin menguatkan.

“Dayang dan Tama, mereka berdua adalah orangtua kandungmu sayang”. Penjelasan ayah seperti diiringi suara gemuruh langit malam yang mengeluarkan kilat dalam hati dan pikiranku. Kurasakan ayah menggenggam erat tanganku lebih kencang. Dan mencium kedua tanganku, lalu diletakkannya ke matanya yang basah. Ya, kali ini ayah benar-benar menangis.

 

 

Comments

Popular posts from this blog

G A N J I L

G A N J I L (bag.4)

Padang dua Belas, Kota Megan yang Ghaib (bag.2)